“Memangnya aku harus selalu setor nama?”
Sekarang jawaban cuek itu tak bisa kulontarkan dengan kemudahan yang sama. Kalau harus jujur tentang apa yang ada, aku memang tak berhak mengaku tak sedang akrab dengan siapa-siapa. Kini aku jadi si gelisah yang selalu melirik ponsel sendiri beberapa menit sekali, berharap ada pesan masuk dari orang yang dinanti-nanti. Bermain appdan mini games demi mendistraksi pikiranku, tanpa harus melepaskan ponsel dari tangan ini.
Aku tak pernah mengira kedekatan dua manusia bisa terjalin sesederhana ini. Namun denganmu, segalanya terasa wajar. Ada sesuatu dari dirimu yang selalu bisa menawarkan kenyamanan.
Sebelum dirimu datang, aku selalu nyaman dengan kemandirian. Hidupku berjalan santai tanpa pendampingan.
Bisa dibilang, aku bukan seseorang yang terlalu memusingkan kesendirian. Saat pertanyaan “Mana pacarnya?” atau “Eh, yang kemarin kok nggak dibawa?” menghampiri, aku takkan segan menjawab bahwa diriku memang sedang sendiri. Lontarku, untuk apa memaksa jika memang belum ada yang serasi? Toh aku nyaman dengan kemandirian. Hidupku berjalan santai dan lancar, tanpa sebuah pendampingan.
Namun itu dulu, sebelum kau mengetuk pintu. Sekarang, aku tak bisa lagi menjawab pertanyaan keluarga dan teman selugas “Aku masih mau sendiri.” Kau membuatku menginspeksi kembali apa prioritasku selama ini.
Bukannya aku sudah tak ingin jadi mandiri. Dirimu hanya sukses menyentuh hati — bahwa hidup memang lebih mudah jika punya teman berbagi.
Kita pertama kali bertegur sapa dalam situasi yang tak biasa. Sikapmu yang terbuka dan apa adanya, membuatku tak pelak suka
Kebanyakan kisah tentang dua manusia yang berbagi hati, justru dimulai tanpa rencana. Mungkin memang ada benarnya bahwa rasa justru lebih gampang tiba saat kita tak mencarinya. Mungkin jodoh memanglah perihal menyiapkan diri, bukan soal sibuk mencari.
Kita pun pertama kali berkenalan dengan cara yang tak bisa dibilang konvensional. Kau bergerak membuka pembicaraan meski kita tak memiliki teman atau kenalan yang sama. Memang, dunia kita jauh berbeda. Namun sejak perbincangan pertama, kau dan aku selalu bisa menghabiskan berjam-jam untuk saling bercerita.
Mengenang obrolan perdana kita selalu membuatku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sebenarnya saat itu, aku tak mengharapkan apa-apa. Hanya kuladeni pesanmu karena wajahmu kuanggap lucu.
“Hmmm… jadi karena tampang doang?”
Aku tertawa.
“Ada alasan keduanya, sih. Karena jawaban kamu match sama jawabanku di mini game YOGRT.”
Hei, aku tak mau berbohong dengan tak mengaku bahwa aku memang suka ekspresi wajahmu yang tanpa gengsi, ceria dan apa adanya. Sementara alasan keduaku — meskipun terlihat sederhana — bisa menjelaskan mengapa kita dekat begitu cepat; mengapa berbicara denganmu begitu menyenangkan, seolah tanpa sekat.
Kedekatan kita tanpa pretensi. Sejauh kemampuan diri, kita saling mendengarkan dan berbagi. Dari hal-hal “berat” seperti pekerjaan dan isi berita, sampai yang lebih sederhana, seperti gelak yang meledak saat bermain mini game Have You Ever di handphone masing-masing.
“Memangnya kamu pernah nyuri sandal di masjid?”
“Pernah, haha. Abisnya sandalku juga dicuri. Masa aku mau nyeker sampai ke rumah?”
“Terus nggak ketahuan?”
“Haha ketahuan, dong. Ternyata itu sandalnya Guru Kimia-ku :ppp”
“Yah? Dimarahin deh?”
“Nggak dong, nilai Kimia-ku ‘kan bagus terus. Aku murid kesayangan si Bapak Guru :p”
Di antara kita, humor tak harus rumit. Obrolan tak mesti berbelit-belit. Apa yang terhidang di layar handphone bisa jadi bahan bicara yang menyenangkan. Apa yang ditangkap mata di dunia nyata bisa diabadikan dengan kamera, sebelum kita mengirimkan pada yang lain hasil gambarnya.
Tak kubayangkan bahwa kedekatan dua manusia bisa terjalin sesederhana ini. Terima kasih, telah menjadi alasanku tersenyum tiap hari.
Mungkin tak semua orang mau memahami. Namun sejujurnya, aku tak pernah merasakan ketertarikan yang setulus ini.
“Jadi dia bukan teman kampus?”
Aku menggeleng.
“Lah? Terus apa dong?”
Aku tertawa saja. Memang sedikit rumit menjelaskannya.
Perkenalan kita yang tak biasa membuatku lebih sulit menjelaskan tentangmu pada mereka yang bertanya. Lebih sulit lagi untuk meyakinkan mereka, walau kita tak saling mengenal sebelumnya, ketertarikan yang tulus memang sungguh kita rasa. Kenyamananku denganmu pun bukanlah pura-pura.
Aku memang belum mengenalmu luar dalam. Namun tak seperti pasangan superfisial yang banyak ada di luar sana, ketertarikanku padamu bisa bertahan karena kecocokan kita dalam kepribadian. Kita tertawa pada hal yang sama, dan berbicara layaknya teman lama. Adakah alasan kedekatan yang lebih tulus daripada itu?
Kuharap kisah ini berlanjut di masa depan. Semoga kita diizinkan untuk saling mengenal lebih dalam.
Yang kita rasa adalah nyata, kurasa kau akan setuju jika aku mengatakannya. Aku pun harus mengakui bahwa diriku ingin mengenalmu lebih jauh lagi. Tak hanya berbagi tawa dan cerita lucu sehari-hari. Aku ingin bisa menawarkan bahu untuk meringankan bebanmu, memberikan usapan di kepala jika kamu membutuhkannya.
Kuharap apa yang kukatakan sama sekali tak mengagetkan. Kuharap, ini bukan permintaan yang terlalu besar.
Terima kasih telah memberikanku rasa nyaman. Semoga, kita diizinkan untuk saling mengenal lebih dalam.
Dariku,
Yang awalnya tak berharap apa-apa
0 komentar:
Posting Komentar