Senin, 01 Juni 2015

eaksi macam, “What is the right way? Bring me to it!” justru makin membuat antipati. Memilih perjalanan hati yang mengarah ke keputusan berhijab tak seharusnya membuat kita jadi polisi

We should not be a moral police, no?

We should not be a moral police, no? via www.flickr.com
Saat melakukan wawancara untuk artikel soal keperawanan ini, saya menyadari satu hal: niat baik tak selalu bisa diterima baik. Alih-alih mendapat pencerahan, bisa jadi lawan bicara justru merasa diceramahi ahli yang surga yang juga belum tentu bisa masuk surga.
“Kayak udah pada masuk surga aja semuanya. Kembalilah ke jalan yang benar. What is the right way? Come on, take me to it!”
Adalah ungkapan salah satu narasumber yang merasa sering diceramahi selepas ia memutuskan terbuka soal seksualitasnya pada khalayak.
Sometimes their attitude is not in line with their religiousity, not in-line with what they believe innot in-line with what they’ve been doingAnd I thinkthat’s the thing you should work on first.
Jadi komentar lanjutan bagaimana gemasnya korban-korban komen ini pada si pemberi komentar yang nampak relijius, padahal melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai relijiusitasnya,
Artikel dari sebuah situs feminis yang sempat viral bulan lalu ini juga mengungkapkan bagaimana tidak nyamannya mereka yang dikomentari. Di mata mereka yang ringan mendapat masukan belum juga berhijab dan masih belum syar’i itu bisa jadi kita dianggap tak lebih dari polisi moral. Mencari kesalahan, hobi mengingatkan, padahal perilaku sehari-hari juga masih jauh dari kesempurnaan.
Jika sudah begini, apakah niat baik itu akan bisa tersampaikan? Atau justru rekan-rekan seperjuangan akan makin menjauh karena merasa tidak nyaman?

0 komentar:

Posting Komentar