Sukses, bukan cuma soal materi. Pandai menyikapi segala permasalahan dengan bijak dan kepala dingin juga sudah menandakan bahwa kesuksesan sudah ada pada diri kita. Kalau berbicara mengenai mapan secara finansial, berarti kita juga tak boleh melupakan faktor keberuntungan yang sudah Tuhan berikan. Termasuk pada sebuah hubungan dua insan yang telah dewasa, dan mulai fokus pada kebutuhan penentu masa depan.
Bahasan kali ini agak sedikit berbeda. Keberuntungan finansial yang lebih dulu didapatkan perempuan, sedangkan lelakinya masih terus berjuang, hingga mendapatkan pekerjaan impian. Kira-kira apa yang akan dirasakan? Apakah amarah yang terpendam atau justru kemantapan hati untuk keseriusan hubungan?
Sering terbesit dalam pikiran, mungkin aku lebih mapan. Tapi bagaimana pun, perempuan tetaplah butuh pria yang bisa dijadikan pendampingnya.
Secara kasat mata, perempuan yang lebih dulu mendapatkan pekerjaan dibanding pacarnya itu memang lebih siap dan mapan. Dia sudah mampu menempatkan dirinya di lingkungan dan tempat yang belum pernah dia temui sama sekali. Kedisiplinan waktu dan komitmen tinggi pun senantiasa ditunjukkan karena kebiasaan di tempat kerja.
Namun, melihat kenyataan bahwa perempuan itu tak mudah membendung air mata, dukungan seorang pria di sampingnya pun masih dibutuhkan. Dan tetap saja, pria yang selama ini menemaninya lah yang ia harapkan. Soal finansial boleh saja oke, tapi yang sulit adalah mengatur kondisi hati yang sering berubah-ubah.
Karena keadaan sekarang dan dulu berbeda, rasa tak enak hati pun terkadang masih menghantui. Ada rasa sungkan, meskipun itu bukan berarti ragu.
Kalau dulu, membicarakan hal-hal gila dan absurd adalah sebuah kebiasaan. Saling melempar canda atau ejekan juga bukan hal baru bagi ketika berkesempatan untuk bertemu. Jauh berbeda dengan yang sekarang, obrolan-obrolan seperlunya lebih diprioritaskan daripada sekadar basa-basi.
Lebih dewasa dan makin serius dalam berhubungan juga pasti. Hanya ada rasa sungkan yang tidak bisa ditutupi ketika kegilaan yang dulu akan diungkit lagi.
Ketika melihatnya lunglai tanpa usaha, rasanya ingin berontak. Hey, apakah kamu lupa kita hubungan semakin menua dan butuh satu keseriusan?
Bukannya bermaksud menghakimi atau menjatuhkannya. Rasa kesal dan marah masih sering datang ketika melihatnya diam saja dan nyaris tanpa usaha. Dia seolah menyepelekan hubungan yang tak hanya butuh cinta, tapi juga sedikit materi ini. Mencari kerja itu tak mudah, butuh usaha dan mental yang tangguh untuk bisa mendapatkannya.
Tapi, setelah semuanya berlalu, mungkin dia hanya butuh waktu untuk mempertimbangkan jalan kesuksesan mana yang akan segera diambil.
Tapi, rasa syukur dibalik semua permasalahan ini jelas ada. Aku jauh lebih peka dan bisa mengambil sebuah keputusan tanpa merepotkanmu sebelumnya.
Ya, aku memang lebih dulu bekerja. Kamu pun menyadari bahwa aku telah mendahuluimu mengenal lingkungan yang lengkap dengan orang-orang barunya. Dari sini, sepertinya kita harus mengambil hikmah dari kejadian yang ada. Jika sebelumnya aku selalu merepotkanmu dalam mengambil sebuah keputusan, kini aku mampu lebih siap. Menjadi bijaksana pun perlahan aku lakukan, karena tak mungkin selamanya aku memintamu berada di sisi.
Kesempatan bertemu memang sudah tak sesering dulu. Jangan heran, jika aku sering memintamu untuk sedikit berkompromi untuk urusan menuntaskan rindu.
Salah satu hal membahagiakan dalam hidupku adalah bisa selalu berjumpa denganmu. Menatapmu dengan leluasa dan bebas membeberkan semua asa. Namun sangat disayangkan, kini pertemuan itu sudah tak sesering dulu. Aku harus menuntaskan seluruh kewajiban sebelum bisa bertatap muka dan bercanda ria bersamamu.
Aku rasa, kamu harus maklum. Ini bukan kemauanku, tapi demi kebutuhan kita. Kamu pun harus mengerti, aku di sini sedang berjuang, memperjuangkan pilihan yang sudah aku ambil.
Di sela-sela kesibukan, aku pun tak tinggal diam. Mendoakan dan mencarikanmu kesempatan selalu rutin kulakukan.
Asal kamu tahu, aku masih waras dan cukup paham atas keadaanmu saat ini. Tak pernah aku tinggal diam ketika melihatmu yang hampir hilang harapan. Aku pun sebenarnya tak tega ketika waktu telah memaksamu untuk menjadi sosok baru, dengan lingkungan yang baru pula. Tapi mau bagaimana lagi, cukup pahami saja bahwa kamu adalah lelaki yang kelak akan aku nikahi.
Mari, berjuang sama-sama. Tak usah rendah diri, jika kamu terus melengkapi diri dengan do’a dan usaha.
0 komentar:
Posting Komentar