Tiap sudut menyapaku bersahabat penuh selaksa maknaTerhanyut aku akan nostalgi, saat kita sering luangkan waktu, nikmati bersama suasana Jogja
Penggalan lagu “Yogyakarta” yang dinyanyikan oleh Kla Project yang membuat kita akan selalu rindu dengan kota kecil dengan multikulturalisme tinggi ini. Hanya di kota ini kita dapat melihat berbagai kebudayaan Indonesia yang berbeda membaur menjadi satu.
Tapi, ada yang berbeda dengan Jogja saat ini. Kota yang populer dengan “Jogja Berhati Nyaman” perlahan mulai terkena dampak modernisasi yang mengatasnamakan pembangunan. Nostalgi akan masa lalu selalu menjadi pembicaraan di sela-sela obrolan santai ketika guyub di angkringan.
Jalanan yang lengang kini tinggal cerita. Arogansi dan emosi para pengendara kendaraan bermotor sudah tak terbendung juga.
Salah satu hal yang membedakan Jogja yang dahulu dan sekarang adalah jumlah pertumbuhan kendaraan bermotor yang drastis. Bahkan, dominasi kendaraan berplat AB semakin menunjukkan penurunan dibanding dengan kendaraan dari daerah lain. Jika kamu perhatikan, mengapa sulit menemukan angkot atau bis umum di Jogja? jawabannya adalah, karena Jogja memang di desain sebagai kota nyaman yang akses dari satu tempat ke tempat lain dapat kamu lalui dengan mudah dan dekat. Tidak heran jika kamu lihat becak dan andong masih menjadi primadona di kota kecil ini.
Dahulu, cukup membutuhkan waktu 5 menit untuk pergi ke suatu tempat di dalam kota. Dengan jalanan Jogja yang macet sekarang, kamu harus berangkat setengah jam lebih awal untuk pergi ke tempat lain. Sopan santun lalu lintas juga terlihat berkurang di kota ini, klakson yang dihidupkan sebagai bentuk kesopanan sebelum menyalip pengendara lain berubah menjadi srobot-srobotan penuh emosi antar pengendara sepeda motor. Jalanan kecil kota Jogja yang mampu membuat waktu terasa pelan, kini penuh dengan kemacetan mobil seperti yang terlihat di kota-kota besar lainnya.
Mbiyen yen nyalip nglakson, saiki srobot-srobotan (Dulu kalau mau nyalip nglakson, sekarang saling srobot) – seorang kawan
Indahnya Merapi semakin tertutupi. Pertambahan baliho dan gedung-gedung bertingkat tak bisa diredam lagi.
Jogja tidak bisa dipisahkan dengan gunung Merapi, gunung yang merupakan bagian sejarah kota Jogjakarta. Keindahan dan kemegahannya kini tidak bisa kita lihat dengan bersih dari jalanan kota akibat polusi visual berupa puluhan baliho iklan, kabel-kabel yang berserakan, serta bangunan-bangunan hotel yang menjunjung tinggi telah menutupi birunya langit dan kegagahan Merapa di sebelah utara kota Jogja.
Baliho-baliho iklan merajalela memenuhi ruang publik kota yang terkenal dengan kesederhanaannya ini. Tidak hanya itu, pembangunan hotel yang dianggap sebagai sinyal positif majunya pertumbuhan ekonomi ini ternyata berdampak negatif bagi warga yang tinggal di sekitar hotel, salah satunya adalah sumur warga yang bertahun-tahun tidak pernah mengering, kini terabaikan dalam kondisi yang mencemaskan. Benarkah Jogja telah berubah menjadi kawasan hutan beton yang menjulang tinggi? Rindu rasanya melihat merapi dengan mata telanjang dari kawasan Tugu Jogja.
Kalau dulu di jalan lihatnya Merapi, sekarang lihatnya baliho – seorang kawan
Di Kota Pelajar, mall-mall semakin bermunculan sedangkan perpustakaan dan toko buku malah makin ditinggalkan.
Mall saat ini menjadi pilihan sebagian warga Jogja untuk menghabiskan akhir pekan, bahkan, mall terbesar se-Jawa Tengah yang terletak di Jogjakarta sedang dalam tahap pembangunan. Modernisasi dan kecanggihan teknologi, secara perlahan telah menghilangkan minat pelajar untuk membaca buku cetak di kota pelajar ini. Perpustakaan hanya ramai oleh para mahasiswa yang sedang berperang dengan skripsinya.
Pemandangan orang membaca buku di tempat duduk yang disediakan pemerintah di tempat umum, tergantikan dengan orang-orang yang sibuk menunduk melihat layar smartphone nya. Kangen rasanya melihat mahasiswa menghabiskan hari di perpustakaan menghabiskan waktu dengan berdiskusi dan berbagi tentang ilmu yang mereka dapat di kelas. Jika para remaja di kota Jogja lebih sering menghabiskan waktu di pusat-pusat perbelanjaan daripada mendatangi perpustakaan yang kaya akan pengetahuan. Apakah kamu termasuk salah satunya?
Saat kumpul dengan teman, cafe modern yang lengkap dengan wifi menjadi pilihan, sedangkan angkringan murah di pinggir jalan kain terabaikan.
Tidak hanya perkembangan hotel dan pusat perbelanjaan yang memiliki pertumbuhan pesat di Jogja, tempat-tempat makan pun mengalami evolusi yang signifikan. Saat ini, jika kamu berkunjung ke Jogja, kamu akan dengan mudah menemukan cafe-cafe modern yang lengkap dengan wi-fi dan desain bangunan yang modern. Jika dulu, angkringan menjadi primadona mahasiswa sebagai tempat nongkrong, sekarang, cafe modern dengan wi-fi menjadi pilihan utama untuk menghabiskan waktu.
Supermarket dan minimarket berjejaring mulai menggeser pasar tradisional. Warung-warung kecil di Jogja pun semakin terpinggirkan.
Tidak dapat dipungkiri, jika toko modern memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar dan turis-turis yang sedang berkunjung ke Jogja. Jadi, tak mengherankan jika kamu melihat minimarket maupun supermarket berjejaring kini memenuhi sudut kota Jogja. Tapi, apakah perkembangannya akan mematikan pasar tradisional ataupun warung-warung kecil?
Karakteristik warga Jogja yang sederhana dan menghargai seni budaya tentu tidak akan mematikan pasar tradisional. Di pasar tradisional, kamu bisa merasakan kehangatan para pedagang di pasar ketika sedang “tawar-menawar” dan merasakan ketulusan warga Jogja yang tidak ternoda oleh pikiran “mencari untung sebanyak-banyaknya”. Kemudahan dan kelengkapan minimarket ataupun supermarket berjejaring memang tidak dapat dipungkiri lagi, tapi bukan berarti kamu harus beralih meninggalkan pasar tradisional.
Dengan segala perubahan yang dialaminya, Jogja tetap menjadi tempat yang nyaman untuk para penghuninya. Namun, enjaga kota kecil yang penuh dengan kekayaan budaya ini tentu menjadi tanggung jawab kita bersama.
Kredit feature image : visitjogjatour.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar