Apa kabarmu pagi ini? Kuharap kau tak bangun kesiangan dan terlambat berangkat ke kantor lagi. Aku percaya kau menyadari, kebiasaanmu yang satu itu tak layak dipertahankan di umur yang sedewasa ini. Kau sudah sarjana, sudah melewati beberapa tahap krusial kehidupan. Harusnya kau mengerti bahwa hidup sudah semakin konsekuensial. Sifat buruk yang kau miliki tak hanya punya dampak pada dirimu sendiri, namun juga orang lain yang dekat di sekitarmu. Termasuk — atau terutama — aku.
Aku menyapamu sepagi ini karena perlu menyampaikan sesuatu. Begini: aku akan meninggalkanmu.
Jangan terkejut. Jangan pula berkata kau tak pernah menduganya. Beberapa hari terakhir ini kau selalu mendesakku untuk bercerita mengapa sikapku mendadak berbeda, mendadak lebih diam dari biasanya.
Tenanglah dan jangan terburu-buru. Masih ada banyak hal yang perlu kusampaikan padamu.
Menerimamu dalam hidupku sebagai pasangan adalah kesalahan. Aku jatuh terlalu dalam, menganggapmu suatu kemutlakan
Kalau aku diizinkan berbicara sedikit cheesy seperti tokoh di film remaja, aku tahu benar apa itu cinta. Bagaimana tidak? Aku pernah merasakannya. Dan tidaklah berlebihan untuk mengakui, tak ada yang sanggup meruntuhkan “dindingku” sebelum kau. Kau tak segan memberi perhatian. Hadiah kecil pun tanpa kuminta kau berikan. Kau tipe orang yang tak main-main, katamu. Aku yang naif pun terpikat saja di waktu itu.
Realita jatuh ke pelipisku dengan tiba-tiba. Setelah kita menyepakati rasa, kau perlahan berubah jadi semakin seenaknya. Makin bertumbuh perasaanku, makin sadar dirimu — dan makin hebat kau memanfaatkannya. “Kalau kamu sayang, kamu harus mau berkorban buatku,” adalah kalimat yang begitu sering terlontar darimu. “Iya, aku minta maaf!” Katamu kesal jika setiap aku menjelaskan kau telah berbuat kesalahan. Kalimatmu yang berikutnya bisa aku ramal: “Kalau kamu sayang, harusnya kamu mau memaafkan.”
Denganmu, cinta menjadi bersyarat. Ia harus didemonstrasikan dari waktu ke waktu dengan tindakan-tindakan dan pengorbanan hebat.
Awalnya aku menerima sikapmu dengan hati terbuka. Kuanggap tuntutan itu normal dalam hubungan cinta; sikap burukmu sebagai hal yang harus ditolerir dalam proses menerima pasangan “apa adanya”. Aku jatuh terlalu dalam, menganggapmu sebagai kemutlakan. Bahkan tumbuh insting dalam pikiranku untuk melindungimu. Melindungi dari apa? Kini mengingat insting itu membuatku tertawa. Justru akulah yang patut dilindungi. Dari dirimu sendiri.
Berkeras untuk tetap memberimu hati adalah pengkhianatan pada diriku sendiri. Maaf, di atasmu ada aku yang lebih kusayangi
Ini bukan kali pertama aku berkata bahwa hubungan kita sebaiknya diakhiri saja. Namun dulu kau selalu meminta, tak bisakah kau mendapat kesempatan kedua? Dirimu tampak menimbun sesal. Aku pun takluk, niatku untuk meninggalkanmu tak pernah cukup tegar.
Namun perempuan yang baik selalu tahu kapan sebaiknya dia pergi. Kini aku mengerti, berkeras untuk memberimu hati adalah kejahatan pada diriku sendiri. Tak hanya telah memberimu kesempatan kedua. Aku mengorbankan waktu untuk mempercayakanmu kans yang ketiga dan nomor-nomor setelahnya. Setiap kali aku berkata diriku sudah terlalu lelah, kau akan berjanji untuk berubah.
Aku memberimu kesempatan, lagi dan lagi, untuk membuktikan diri. Tapi kau tak pernah menepati janji.
Aku sempat percaya, diriku bisa mengubahmu dengan perangkat sesederhana cinta. Betapa naifnya.
Aku sempat percaya kau akan menepati ikrar. Aku pun sudah memberimu waktu yang tidak sebentar. Dalam bayanganku, kau akan berubah pelan-pelan. Menjadi seperhatian dulu, menghargai perasaan dan mimpi-mimpiku. Tak menjatuhkan semangatku dengan kata-kata seperti “Mana mungkin kamu bisa?” Dalam bayanganku, kau adalah pria baik yang perlu dituntun untuk kembali lagi ke fitrahnya. Dan dalam bayanganku, yang bisa menuntunmu hanyalah diriku.
Kau tak pernah mau belajar mendewasa. Aku tak punya pilihan: akulah yang harus jadi dewasa di antara kita. Dan itu artinya berhenti mengharapkan sesuatu yang akan sulit dicapai realita. Berhenti berharap bahwa dirimu akan lebih bijak dalam berkata-kata, lebih menghargai dan menghormati usaha pasangannya. Kukira diriku akan mampu mengubahmu jadi seperti dulu. Sekarang aku sadar,
Tak ada yang bisa mengubah orang lain selain orang itu sendiri. Jadi kumohon, terimalah keinginanku untuk pergi.
Aku meninggalkanmu sekarang, selagi hati masih punya ruang untuk memaafkan. Semoga kau menemukan penggantiku yang bisa jauh lebih bersabar
Aku tak bilang ini mudah. Namun saat segala hal sudah coba untuk kulakukan, tiba waktunya untuk menyerah. Untuk berkata “Ah, sudahlah.” Aku tak mau menyimpan dendam, dan aku ingin meninggalkanmu selagi hatiku masih punya ruang untuk memaafkan.
Semoga kau diberkahi dengan masa depan yang lebih baik lagi. Dengan pasangan yang sanggup lebih bersabar, yang menerimamu sebagaimana dirimu sekarang. Karena orang itu jelas bukan aku.
Tenanglah, Sayang.
Kau tak akan kulupakan — hanya kutinggalkan.
0 komentar:
Posting Komentar