Selasa, 27 Januari 2015

“Aku Memilih Pergi. Karena Aku Mencintaimu.”


Dulu, aku pernah percaya bahwa — suatu hari — kita akan bahagia

Aku tak ingin berjuang sendiri
kehabisan darah lalu mati
sementara kau bisa bebas pergi.
Aku ingin bisa memaki
hadirnya ransel penuh bahan makanan
di punggungmu.
Sementara aku harus bertahan
lewat sisa roti yang terasa terlalu keras di mulutmu.
Bolehkah kulempar granat ke hatimu?
Hanya ingin tahu
mungkinkah ia remuk, karena aku?
Dulu aku sempat percaya kita akan bahagia via www.finchandfawn.com
Aku tahu Sayang, kita begitu berbeda dalam segalanya. Gadismu ini penyendiri, sementara kamu pria yang dengan muda bisa bersosialisasi. Kamu punya banyak kawan di luar sana, sedang aku bertemu orang yang baru dikenal saja sudah panas dingin rasanya.
Tapi kamu membuatku percaya bahwa suatu hari semua perbedaan ini akan menemui muaranya. Kita akan tetap baik-baik saja.
Kubayangkan suatu hari kamu tidak akan keberatan kuajak naik kereta ke Pulau Dewata. Berbekal keril dan makanan kering seadanya. Hari itu kamu tidak takut keringat, tidak khawatir lelah. Walau punggung dan pantat pegal terhajar dudukan yang terlampau lurus, jok yang terlalu tipis. Kita akan tertawa melihat betapa kakunya kakimu terjepit diantara kursi yang sempit.
Dan kamu akan bahagia.
Pada suatu hari lainnya kamu akan mengerti cara bicaraku yang aneh. Bahwa kadang tidak berarti iya ; tidak sakit artinya sakit sekali ; terserah setara dengan dengar mauku. Kita akan berbicara banyak hal yang sama. Menggumamkan lagu yang kita gemari. Sesekali bertukar buku, barangkali.
Dan kamu akan bahagia.
Suatu hari, kita akan duduk berdampingan dengan nyaman. Merasa saling tergenapkan. Tanpa alasan, tanpa banyak usaha. Aku membuatmu cukup, kau menghormatiku sepantasnya. Kita saling menghargai, sebab tak ada alasan masuk akal untuk saling menikam pisau dalam sunyi. Akan ada puisi manis dan pesan singkat spontan yang rawan membuat kita sakit gigi.
Alih-alih tak paham, kamu, kita, akan bahagia.

0 komentar:

Posting Komentar