Untukmu yang telah membuatku sedemikian terluka,
Berbulan-bulan lamanya aku belajar untuk (terlihat) baik-baik saja, namun beberapa hari yang lalu sekonyong-konyong ingatan akan luka itu kembali terbuka. Begitu mengganggu ditengah carut marut pikiranku menyelesaikan skripsiku.
Hari ini telah hampir dua tahun sejak pengkhianatanmu waktu itu, dua bulan sejak kepergian tiba-tibamu, namun potongan-potongan kenangan itu begitu membekas tanpa pernah terlupakan sedikitpun. Tentang bagaimana kamu menyalahkanku waktu itu, tapi ternyata kamu mendua pada perempuan lain. Tentang bagaimana aku yang setia menunggumu, tapi ternyata kamu memilih datang pada perempuan itu.
Bagimu mungkin cerita ini telah berakhir, namun bagiku luka itu tak akan mudah hilang begitu saja.
Seumur hidupku aku tak pernah membenci siapa pun. Sejahat apapun seseorang padaku, aku hanya akan marah lalu sebentar melupakannya. Apalagi pada seseorang yang pernah membuatku jatuh cinta tanpa logika. Namun kamu dan perempuan itu adalah pengecualian.
Aku membencimu dan perempuan yang bahkan tak pernah ku kenal siapa itu, atas pengkhianatan yang kalian lakukan padaku. Kebencian itu begitu dalam hingga bahkan aku tak bisa menjelaskan seperti apa. Rasanya hanya seperti sesak yang demikian hebat dan menyakitkan.
Berkali-kali kamu mengucap maaf untuk pengkhianatan yang telah kamu lakukan. Aku tau. Tapi aku tak pernah melihat kesungguhanmu memperbaiki kesalahan yang telah kamu lakukan. Bahkan kamu menyalahkanku atas ketidakdewasaanku yang membuatmu berpaling padanya. Kamu lelah pada hubungan kita, demikian alasanmu. Tapi apakah lantas alasan itu membenarkan pengkhianatanmu? Tidak. Jika kamu sungguh mencintaiku, kamu tak akan melakukan itu.
Dan kata maafmu hanya formalitas, kurasa.
Percuma kubilang. Kata maafmu tak akan pernah menyembuhkan hatiku yang kadung terluka. Tak akan pernah mengembalikan hatiku kembali utuh seperti sebelum kalian hancurkan.
Aku mempercayaimu. Sangat. Tapi kamu menghancurkanku tanpa pernah memikirkan bagaimana jadinya aku kemudian. Tanpa pernah peduli berapa banyak air mataku yang terbuang percuma saat kamu tertawa bersama dia.
Dan untukmu perempuan yang bahkan tak pernah merasa bersalah,
Bayangkan jika dulu kamu adalah aku dan aku adalah kamu. Bagaimana rasanya jika lelaki yang begitu kamu sayang mengkhianatimu dengan perempuan lain? Dan apa ujarmu waktu itu? Kamu bersama dia saat masing-masing dari kalian sudah sendiri?
Ah munafik! Kamu bahkan tahu lelaki itu masih kekasihku saat kamu masuk ke hidupnya lagi dan mendekatinya. Lalu dengan angkuhnya kamu berkata, “jika dia lebih memilihku ketimbang kamu, salahku?”
Ah, aku rasa kalian berdua memang sama-sama tak punya hati.
***
Setelah pengkhianatanmu yang pertama, dengan sisa kepercayaanku aku belajar memaafkanmu. Aku belajar mempercayaimu lagi. Membiarkanmu memenuhi janjimu untuk menata puing-puing yang kamu hancurkan. Aku berusaha menjadi sesempurna yang kamu mau, namun sayangnya usahaku tak pernah cukup buatmu. Untuk kedua kalinya kamu mengkhianatiku lagi dengan perempuan yang sama. Tidak cukupkah buatmu hanya aku saja yang mencintaimu?
Aku remuk, merasa kalian pecundangi. Berkali-kali aku menyalahkan diriku sendiri dan bertanya, aku yang bodoh atau kalian yang tak tau diri? Aku yang terlalu mencintaimu atau memang kalian yang tak punya hati?
Apa yang ada dipikiranmu saat itu, dua kali kamu melakukan salah yang sama, apa kamu tak pernah memikirkan bagaimana perasaanku? Perasaan perempuan yang kamu bilang begitu kamu sayang. Ah, bullshit!
Berbulan-bulan setelahnya aku belajar menerima dan menyembuhkan luka yang kamu tinggalkan. Belum juga sembuh sempurna, lalu dengan tanpa malu kamu datang lagi dan mengiba meminta maafku dengan penyesalan yang aku tau kamu buat-buat. Dia mempermainkanmu, ujarmu kala itu. Lalu, apa kamu juga tak sedang mempermainkanku? Aku sadar kamu hanya sedang mencari pelarian.
Aku telah khatam tentang bagaimana perilakumu, tapi entah kenapa aku mau menjalin komunikasi lagi denganmu. Mungkin aku hanya terlalu tergantung padamu. Aku terlalu lelah untuk bermain-main, berpindah hati dan memulai yang baru lagi. Tapi ternyata tidak demikian dengan dirimu. Kamu ibarat burung yang tak ingin dikekang dalam sangkar. Kamu ingin terbang bebas berpindah dari satu hati ke hati yang lain tanpa pernah peduli bagaimana perasaan perempuan yang hatinya kamu kecewakan. Maka kamu pun pergi begitu saja seperti tak pernah memberiku harapan. Tanpa penjelasan. Mungkin karna kamu telah menemukan perempuan lain lagi yang hatinya siap kamu tinggali. Perempuan yang kamu anggap lebih sempurna dariku.
Bodoh? Iya. Aku tau saat itu aku salah menempatkan diriku, aku salah menempatkan perasaanku, aku salah berharap padamu, aku salah mencoba mempercayaimu bahwa kamu bisa berubah.
Tak akan pernah. Orang sepertimu takkan pernah menyesali kesalahan yang kamu lakukan.
Terima kasih untuk setiap luka dan kecewa yang telah kamu buat yang kini menempa hatiku menjadi lebih tangguh. Kini, aku telah hidup dengan lebih baik dan lebih bahagia tanpamu. Ada lebih banyak hal yang harus aku perjuangkan selain dirimu yang hanya mampu melukaiku. Togaku. Jodohku. Bahagiaku. Masa Depanku.
Karena pada akhirnya, kini Allah menyadarkanku tentang siapa kamu, bahwa kamu memang bukan lelaki baik. Dan aku percaya, Allah memisahkan kita pasti dengan sebuah alasan yang lebih baik untukku, untukmu, untuknya. Agar aku bisa bertemu dengan laki-laki yang baik. Agar kamu pun dapat bertemu dengan perempuan yang lebih baik.
Tapi sayangnya untuk orang sepertimu, sebaik apapun perempuan yang kamu sanding tak akan bisa membuatmu berhenti bermain-main dan serius memegang komitmen. Karna itu watakmu.
“Jika membencinya bikin kamu bahagia, terusin aja. Tapi jika membencinya cuma bikin kamu makin terluka, berhenti. Maafin dia. Jika bukan buat dia, maafin dia buat diri kamu sendiri, buat kebahagiaanmu sendiri”, ujar mereka.
Maaf aku tak bisa. Hingga detik ini aku masih tak bisa memaafkanmu. Aku tak bisa memaafkan pengkhianatanmu. Aku tak bisa memaafkan rasa sakit itu.
Tapi, jika suatu saat nanti aku mampu memaafkanmu dan dia, hal itu aku lakukan bukan untuk kalian. Tapi untuk hatiku, untuk hidup yang aku jalani dan untuk kebahagiaan yang aku pilih.
Cepat atau lambat, lukaku pasti akan sembuh, tapi tak akan pernah sesederhana permintaan maaf palsumu.
Pertama kali kamu berkhianat aku memaafkanmu.
Kedua kali kamu berkhianat aku memaafkanmu.
Ketiga kali kamu datang lagi tanpa malu kemudian pergi begitu saja seperti pengecut, aku bersumpah aku tak ingin mengenalmu lagi.
Bacalah dan tertawalah untuk setiap luka dan air mata yang tercipta karenamu. Lalu, aku akan membalasmu dengan tawa untuk setiap kebahagiaanku.
Jadi, setelah berpisah denganku, adakah perempuan lain yang bisa mencintaimu sebesar aku melakukannya?
Dan untukmu perempuan yang pernah mengambil dia dariku, terimakasih karena kamu telah menunjukkan padaku siapa sebenarnya laki-laki yang pernah dengan sangat aku perjuangkan itu.
Dariku, perempuan yang kini lebih bahagia tanpamu :)
0 komentar:
Posting Komentar