Dari awal, aku selalu mencoba memahami dan mengerti bagaimana keadaanmu. Aku tahu kau sangat sibuk dengan urusan masa depanmu, membuat laporan, ujian, dan tugas-tugas yang harus diselesaikan sebelum deadline. Aku paham akan hal itu, karena aku juga mengalaminya. Meski begitu aku selalu berusaha untuk mengabarimu, bahkan sampai saat ini, detik ini pun masih kutoreh tentangmu disini. Apa kabar wahai lelaki penikmat keindahan yang sempat hampir menyentuh hatiku? Apa kau disana pernah memikirkanku, pernah menemuiku dalam mimpimu, atau aku sudah lenyap dan hangus dalam ingatanmu yang tertepa angin musim salju.
Masih ku ingat kau seolah memberiku keyakinan bahwa kita akan bisa berjalan bersama meski diambang keabu-abuan waktu akan masa depan yang sama-sama tak pernah kita tahu. Ku tanamkan keyakinan itu. Sampai akhirnya kau tiba-tiba mengaburkan semua, dan perlahan pasti punggungmu melenggang pergi menjauhi pandangan mataku. Kau membuat kebingungan yang bahkan aku tak pernah benar-benar tahu dimana letak kesalahanku.
Dari sekian banyak yang datang menghampiri, kaulah yang sempat memberiku keyakinan penuh untuk kembali merasa mekarnya hati setelah lama layu mengering dan mati suri. Tapi sekarang semua sudah berubah 180 derajat. Kutemuimu hanya mengintip dari balik pandangku. Sebegitu sulitkah mengakui jika kau merindukanku?. Bila saja kau lebih sederhana mendefinisikan rindumu dan mengungkapkannya di depan mataku. Maka sudah pasti kerinduanmu akan terbalas karena aku juga merasakan hal yang sama.
Bukankah kau elang yang gagah perkasa, yang selalu berani terbang mengangkasa tanpa pernah takut terjatuh. Aku mengerti keadaanmu, bagaimana orang-orang diluar sana berharap besar terhadap keberhasilanmu. Dan aku pun yakin kau pasti bisa melaluinya dengan gemilang. Aku juga tak menuntut banyak padamu untuk selalu menemuiku di sela waktumu, aku hanya ingin kejelasan, karena kita berjauhan. Bagaimana rasanya rindu yang membumbung ingin meledak dipisahkan oleh jarak ribuan kilo jauhnya? Aku sudah merasakan kepedihan rindu yang tak terbalas.
Setelah aku puas menangisi kerinduan hingga kopiku berubah asin dan tak lagi pahit, setelah ku tak pernah menanggalkan harap untuk menemuimu di malam hari hingga terjaga sampai pagi, lalu kau tiba-tiba hadir lagi menanyakan kabar dan mengatakan kau rindu aku. Seperti inikah caramu membalas rindu? Itu bukan rindu, sama sekali tak kulihat ada sorot kerinduan dari matamu. Kau hanya bosan dan memilih menemuiku berharap kau mendapat kesenangan sesudahnya. Kau salah, karena aku bukanlah badut, aku bukanlah penghibur yang bisa memberimu kesenanangan dan membuatmu puas tertawa setelahnya. Maaf akan hal itu.
0 komentar:
Posting Komentar