Hai, manusia yang dulu pernah menetapsejenak di hatiku, apa kabarmu?
Kau pasti terkejut mendapati surat dariku ini. Tidak, aku tidak akan membuka kembali memori lama. Jujur saja,aku pun tak ingat di mana terakhir kali meletakkan kuncinya. Hanya saja kemarin lusa, memori tentangmu tak sengaja melintas kembali saat aku sedang berbincang dengan kawan lama.
Dia menanyakan juga kabarmu – yang aku sendiri tak tahu karena kita sudah lama tak bersua. Oleh karena itulah surat ini ada. Bukan karena aku kembali peduli secara tiba-tiba. Namun, hanya saja ada ucap terimakasih yang ingin aku sampaikan kepadamu.
Pertanyaan dari beberapa teman kembali memancing rasa penasaran dalam hati:“Bagaimana kabarmu saat ini? Baikkah?”
Kemarin lusa aku sedang menghabiskan waktu sendirian, hingga beberapa kawan lama datang menghampiri. Perbincangan basa-basi masalah kehidupan pun naik ke permukaan. Mulai dari pekerjaan, keluarga, study, dan kemudian tentu saja cinta. Namamu meluncur begitu saja disebutkan oleh salah satu dari mereka.Wajar saja pikirku, mereka pasti mengira aku masih bersama denganmu.
Saat namamu disebutkan tak ada perasaan apapun yang muncul. Tak ada pendar kegembiraan maupun rasa jengah yang menyesakkan. Aku biasa saja. Justru para kawan yang menolak untukpercaya, tak mengira cerita kita akan berakhir begitu saja.
Kisah kita yang kukira sempurna ternyata berhenti begitu saja. Bukan karena ego yang sama besarnya, namun karena salah satu dari kita tak kuasa untuk tak mendua.
Aku tak ingat lagi berapa tahun yang lalu kita berpisah. Yang aku ingat kita tak lagi bersama karena kau mendua. Tentu saja tak ada orang yang mudah lupa jika ditinggalkan dengan alasan demikian bukan?
Enak sekali pikirku waktu itu, kau melenggang pergi karenamendapatkan hatiyang baru. Tidakkah perjalanan kita selama beberapa lama meninggalkan sekian kenangan? Tidakkah perjuangan yang dilakoni bersama mengguratkan rasa yang dalam?Namun,toh ternyata kau tetap pergi. Memilih untuk menggenggam tangan yang baru, berlabuh ke hati yang baru.
Ah sudahlah, tak ada yang salah. Mungkin memang sudah seperti itu jalannya. Suratku ini tak berisi sumpah serapah maupun amarah. Bukan pulabermaksud memojokkan, aku hanya inginberpesan, jangan kau lakukan hal yang sama dengan wanitamu yang sekarang. Karena sungguh, memiliki hati yang remuk redam itu rasanya menyakitkan.
Memang perih dan sakit hati pernah jadi teman terbaik setelah kepergianmu. Namun, aku tak mengutuki, aku justru berterimakasih kini.
Perih, kecewa, dan sakit hati. Tentu saja dulu mereka sangat akrab denganku. Mereka adalah teman terkaribku selama beberapa waktu. Hari-hariku tak pernah alpa oleh kehadiran mereka. Mulai dari membuka mata hinggajatuh terpejam di waktu malam, mereka selalu ada.
Pada akhirnya, aku pun menyadari bahwa aku harus mandiri dan berdiri di atas kaki sendiri. Setelah kepergianmu aku tak bisa terlalu bergantung pada mereka. Memang butuh waktuhingga aku bisa melepaskan mereka dan menyembuhkan jejak yang ditinggalkan. Namun, aku berterimakasih karenanya. Banyak hal-hal baikyang bisa kujadikan bekal. Pada akhirnya, merangkai cerita denganmu membuatku kenyang akan pelajaran. Jika kita tak berjumpa, mungkin tak akan kutemukan diriku yang tegar, sabar, dan penuh perhitungan matang seperti sekarang.
Kau perlu tahu bahwa sekarang hari-hariku pun tak lagi muram. Ada sosok baru yang sudah ada di sisi, dia datang menggantikandan mencabut kenangan akan dirimu hingga ke akar-akarnya. Dia yangberhasil membuat bumiku kembali menemukan porosnya.Menggenggam tanganku ketika aku sedang goyah, mengusap pelan pundakku demi menyalakan semangat.
Sekali lagi ku ucapkan terimakasih untukmu. Terimakasih karena kita pernah bertemu.
Terimakasih karena pernah meninggalkan, darimu aku belajar bagaimana cara memaafkan.Terimakasih karena pernah mendua, darimu aku belajar bagaimana cara menyembuhkan luka.
0 komentar:
Posting Komentar