Ayah-Ibu tersayang,
Hari ini aku bangun dengan perasaan berbeda. Memang ini hari yang istimewa. Sudah lewat lagi satu tahun orangtuaku melewati hidup mereka bersama-sama. Aku, putrinya, tak pelak merasa bahagia — meski sedikit sedih juga karena tahu belum bisa memberikan semua yang kalian harapkan.
Selamat berbahagia, Ayah dan Ibu. Bacalah suratku untukmu ini, yang sengaja kutulis sejak pagi-pagi sekali.
Ayah dan Ibu selalu kompak bercerita bahwa pertemuan pertamanya tak disengaja. Tapi ketidaksengajaan itu mengubah segalanya.
Ayah dan Ibu selalu jadi pasangan yang sumringah dan kompak ketika membicarakan pertemuan pertamanya padaku. Kalian bertemu pada acara ulang tahun kawan akrab Ibu. Ayah sebenarnya bukan tamu undangan yang diharuskan datang. Namun berkat ajakan kawannya, Ayah mau beranjak juga.
Ayah yang dikenal sebagai manusia tampan pun, sebenarnya tidak sulit menarik perhatian gadis-gadis menawan dalam acara itu. Namun takdir mungkin sudah menentukan lain. Ayah mengenal Ibu lewat kawannya. Ayah pun jatuh hati pada Ibu yang mengaku sebagai gadis yang biasa-biasa saja. Sayangnya Ayah masih mengikat hati pada wanita lain.
Jika sudah jodoh, tak akan ke mana. Pepatah itu ada benarnya bagi Ayah dan Ibu. Tak perlu berpikir panjang, Ayah meminang Ibu.
Setelah beberapa waktu, Ayah tak lagi dengan kekasihnya yang lama. Ayah pun kembali bertemu dengan Ibu. Di mata Ayah, Ibu semakin berbeda. Selain kecantikan alamiahnya, Ibu selalu memancarkan aura kedewasaannya. Tak kuasa menahan pesonanya, Ayah dan Ibu mengikat janji setia sehidup semati. Dalam keadaan sulit dan senang, mereka tahbiskan untuk melewatinya bersamaan. Ini tak hanya isapan jempol. Ayah dan Ibu bukanlah siapa-siapa di awal pernikahannya. Tapi mereka tetap bahu-membahu bersama hingga saat ini. Aku jadi saksinya.
Hari itu masih gelap. Ayam jantan bahkan belum sudi berkokok. Aku lahir dalam kasih sayang yang tak berbatas.
Saat itu pagi benar, terlalu pagi malah. Awan terlalu gelap dan ayam jantan masih di peraduannya. Ibu terbangun dan merasakan sakit yang teramat sangat. Tangannya menggapai ayah yang masih pulas. Ayah dan Ibu sepakat pergi ke bidan terdekat. Memang Ibu sudah 9 bulan mengandungku. Sambil terus menahan sakit, Ayah mengencangkan laju mobilnya.
Tak lama kemudian, tangis bayi pecah. Iya, itu suaraku. Tubuhku kecil, tapi suaraku luar biasa menggelegar. Ayah dan Ibu justru bahagia dan bangga mendengarnya. Aku terlahir sehat wal afiat. Beberapa bagian tubuhku mirip ibu, sebagiannya lagi seperti duplikat ayahku. Bersama-sama, mereka pulang dan menjadikanku artis baru di kalangan keluarga besar, tetangga, dan kerabat.
Aku tumbuh sebagai anak yang luar biasa. Luar biasa bandel!
Aku memang anak yang lucu dan menggemaskan. Di balik semua kelucuan dan gemasku, aku juga sangat bandel. Apa sih yang dikatakan Ayah dan Ibu yang tidak kulanggar? Hampir semuanya kulanggar. Kalau kehilangan akal untuk memberi tahu, aku dimarahi, dicubit, atau dijewer. Tapi anak bandel kayak aku, kapan sih kapoknya? Salutnya, Ayah dan Ibu tetap jadi orang tua tersabar sedunia. Meski bandel, aku tetap sayang dan percaya pada kasih kalian berdua.
Aku begitu beruntung dibesarkan oleh tangan hangat kalian. Saat aku sakit, tak pernah sedetik pun aku dibiarkan sendirian — kalian merawatku penuh kesabaran
Sebagai sepasang orangtua pemula, wajar bila Ayah dan Ibu selalu meningkatkan ilmu mereka dalam mengasuh buah hati yang tersayang. Ayah-ibuku juga begitu. Namun sebagai manusia, bisa saja mereka lengah.
Tubuhku memanas. Seharian aku menangis, terkadang diikuti teriakan histeris. Nafsu makanku tak lagi sebanyak sebelumnya. Aku hanya lemas dalam kasurku sambil menggigil. Dalam dekap gendongan ibuku, secara samar aku dapat melihatnya menangis. Ayah terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya sementara waktu demi membantu Ibu dalam menjagaku. Aku tahu saat itu tubuhku terasa sakit. Sesungguhnya, perasaan Ayah dan Ibu jauh lebih sakit daripada aku.
Kalian selalu mengupayakan yang terbaik untukku, termasuk pendidikanku. Sekarang aku sudah dewasa, karena keuletan kalian berdua
Ayah dan Ibu selalu mengupayakan yang terbaik untukku. Kalian tak pernah membiarkan anakmu ini memiliki masa depan yang mengenaskan. Kalian ingin melihat nasibku yang lebih baik daripada kalian. Oleh karena itu, kalian tak pikir panjang dengan menghantarkanku ke bangku kuliah. Aku sempat malas-malasan. Skripsiku bahkan terbilang lama. Tapi kalian begitu sabar meski kerap mengutarakan keinginan untuk melihatku mengenakan toga dan jubah hitam.
Akhirnya terwujud juga impian itu. Aku diwisuda, Ayah dan Ibu. Aku begitu bahagia membawa kabar ini pada kalian berdua. Kalian pun bangga telah berhasil membawa namaku setinggi mungkin. Kabar baik lainnya, tak perlu menunggu waktu lama untuk bekerja di perusahaan impian. Kini aku telah menjabat posisi yang tinggi di perusahaan itu. Ini semua berkat doamu, Ayah dan Ibu.
Roda kehidupan selalu berputar dengan cepatnya. Sebentar lagi, aku akan mengalami fase seperti yang telah Ayah dan Ibu lalui.
Semenjak Ayah dan Ibu mengisahkan awal pertemuannya, kisah itu selalu terekam di otakku. Diam-diam aku ingin kehidupanku juga seindah Ayah dan Ibu. Sayangnya, target meleset. Aku tak bertemu pujaan hatiku seperti yang Ayah Ibu alami. Namun yang pasti, aku akan segera melalui tahap pernikahan. Ayah dan Ibu, kalian mau kan menjadi waliku nanti?
Di akhir suratku, ijinkan aku menuliskan: Selamat hari ulang tahun pernikahan, Ayah dan Ibuku!
Ayah dan Ibu, tak kusangka aku bisa sampai ke tahap ini. Aku yang tadinya bocah ingusan, bandel, dan ngeyel, akan segera memasuki tahap pernikahan. Tak bisa dibayangkan aku akan melewati fase-fase seperti kalian. Pastinya itu tak semudah saat aku merengek-rengek meminta mainan.
Ayah dan Ibu, maafkan atas segala perilaku burukku di masa lalu. Aku banyak menyusahkan kalian. Aku sangat nakal. Maafkan jika aku belum mampu membahagiakan kalian dan membalas jasa-jasa kalian. Rasanya ingin sekali bisa kembali ke masa kecilku dan berubah menjadi anak baik dan penurut. Paling tidak, aku bisa membahagiakan kalian secara lebih lagi dan lagi. Sayang, waktuku dengan kasih sayang dari Ayah dan Ibu yang melimpah tak kan kembali lagi. Aku harus menjadi manusia dewasa dan bertanggung jawab untuk keluargaku nanti.
Ayah dan Ibu, ijinkan aku mengucapkan, “Selamat hari ulang tahun pernikahan!” Aku bahagia memiliki orangtua seperti kalian. Aku teramat bangga memiliki kalian. Tolong Ayah dan Ibu, sehatlah dulu sampai aku lebih sukses dan memberikan cucu kepada kalian. Aku masih ingin membahagiakan kalian hingga akhir hayat. Aku cinta kalian, Ayah dan Ibu. Doakan aku agar bisa seperti kalian nanti. Amin.
Peluk cium dan sayang untuk Ayah dan Ibu,
Dari anakmu yang paling bandel
0 komentar:
Posting Komentar