Saat bersamamu, aku selalu merasa nyaman. Obrolan kita terasa tidak ada ujungnya, selalu saja ada topik baru yang akan kita perbincangkan. Mulai hanya sekedar pelajaran, menggunjingkan dosen hingga para manusia yang mondar-mandir di layar kaca, akhirnya kita menyadari bahwa kita memiliki selera musik dan tontonan yang sama. Ah, tahukah kamu? Rasa-rasanya aku menemukan kembali saudara perempuanku yang hilang.
Kita selalu bisa menertawakan apa saja. Dari kelas, koridor, kantin kampus, hingga kamar kos adalah saksi bagaimana kita menertawakan dunia. Bagaimana sudut pandang kita selalu seragam dan hampir sama. Bagaimana kita selalu merasa gembira dan sesekali jumawa, merasa bahwa kita memiliki sahabat sempurna dan terbaik di dunia.
Bahkan aku tak pernah lupa, saat kita sedang berada keramaian dan menemukan hal yang lucu. Kita hanya cukup saling melemparkan pandangan kemudian kita akan mulai tertawa bersama. Tidak ada sepatah kata yang terucap, namun aku paham maksudmu dan kamu juga mampu membaca pikiranku.
Kita memang hampir tak pernah bertengkar, tapi sekali kita bertengkar, persahabatan kita tak pernah sama seperti awal mula. Ya, kita keliru. Di dunia ini memang tak ada yang sempurna, begitu pula persahabatan yang kita pikir akan bertahan hingga kita tua. Ternyata hari-hari yang kita lalui bersama hanya bertahan sekejap saja.
Hingga suatu hari, saat aku jatuh di titik terendah kau pilih meninggalkanku, tak mempedulikan kawanmu satu ini
Aku sudah lupa tanggal dan bulan ketika kita memutuskan untuk tak lagi menjadi sahabat dekat. Saat itu aku sedang diserang melankolia karena jalinan asmara dengan kekasihku bubar jalan. Aku butuh seseorang untuk dijadikan sandaran. Ku pikir kau akan ada di sana menemaniku, memberikan kata-kata penghiburan, menguatkan. Namun, sosokmu tak ada. Kau mengaku sedang dilanda kesibukan. Hingga petang pun tetap tak kutemui kata-kata penghiburan. Aku berusaha memaklumkan.
Keesokan paginya, saat kantung mataku sedang bengkak-bengkaknya. Kau tetap ceria seperti biasanya. Belum juga kutemui kata penghiburan dari bibirmu. Belakangan aku tahu, kau memilih menghabiskan waktu dengan teman-teman yang lain daripada ada di sampingku.
Kenapa bisa begitu? Tanyaku. Setelah berpikir sederhana aku malah memunculkan tanya: kenapa aku harus terkejut? Bukankah memang selama ini, tak pernah ada di saat aku membutuhkannya? Kita memang saling berbagi gembira, namun tidak dengan duka. Dan ini adalah puncaknya.
Kupikir kau akan sedia mendekap ketika salah satu dari kita babak belur digilas kekejaman dunia. Namun, di saat aku sedang jatuh di pelukan duka, kau menghilang entah kemana.
Aku begitu polos menganggapmu sebagai sahabat baikku, mengira bahwa kau akan selalu sedia bahkan di saat duka menyapa. Namun nyatanya tidak, di persahabatan kita hanya aku lah yang bersedia menjadi teman suka dan dukamu.
Mungkin sebenarnya hanya akulah yang menganggapmu teman dekat, sedangkan kamu tidak.
Tidak ada penyesalan dan dendam di sana, aku bahkan berterimakasih pada Tuhan karena telah membuka mataku akan arti sahabat yang sesungguhnya
Aku memang memaafkanmu hari itu, namun kemudian hubungan kita tak pernah sama lagi setelahnya. Kamupun tidak pernah ada niat untuk berusaha memperbaiki hubungan. Di saat aku diam karena masih merasa sakit, kaupun hanya berpasrah dan tidak ada keinginan untuk membuat hubungan kita kembali sempurna. Di hari itu aku memahami bahwa persahabatan kita memang sudah berbeda jalan. Mungkin definisi dari sahabat menurut pemahaman kita sangat jauh berbeda.
Aku memang bukan tipe seseorang yang bisa dengan mudah melupakan atau bahkan meninggalkan begitu saja sahabat yang pernah mengisi hari-hariku. Oleh karena itu, kita memang tetap berkawan setelah hari itu, namun tentu saja hubungan kita tak pernah sedekat sebelumnya. Mungkin dulu aku menyematkan sahabat padamu, namun sekarang sekadar kawan saja kurasa sudah cukup.
Terima kasih untukmu, yang telah membuatku mengerti apa arti sahabat yang sebenarnya.
Dariku,
yang dulu pernah menganggapmu sahabat terbaikku
0 komentar:
Posting Komentar