Sedih, canggung, bingung dan menyesal. Itulah yang akan kamu rasakan ketika harus menghadapi konflik dengan teman dekatmu sendiri. Jika bisa memutar waktu, tentu kamu akan melakukannya tanpa ragu-ragu. Mencegah apapun penyebab konflikmu dengan teman dekatmu itu, meng-undo perkataan menyakitkan yang sempat terlontar dari mulutmu.
Selama ini kita diajarkan untuk menghindari konflik. Persahabatan yang tenang-tenang saja, damai, dan tak pernah diisi pertengkaran jadi model hubungan yang baik. Inilah mengapa saat perselisihan itu terjadi, kamu tak tahu cara menghadapinya kecuali dengan sedih dan rasa sesal. Padahal, konflik antara dirimu dan sahabat sebenarnya justru bisa membuat kalian semakin dekat.
Konflik bukanlah pemisah; ia hanya menguji seberapa jauh kalian ingin untuk tetap dekat. Lagipula, bukankah sebenarnya konflik banyak manfaatnya?
Konflik adalah kesempatan kalian untuk mengungkap rasa kecewa. Lebih baik terbuka, daripada semakin luka
Lebih baik terbuka, daripada ada luka
“Sebenarnya aku masih kesel pas kamu kemarin “ilang” berbulan-bulan, sampai kepanitiaan jadi berantakan.”
Konflik jadi tak mengenakkan karena kamu dipaksa mengakui kelakuan sahabatmu yang memantik rasa kesal, sedih, marah, atau malu di dalam hati. Meski kamu memang kecewa, ada rasa tidak enak ketika kamu sengaja membuatnya mengerti bahwa kamu merasa kecewa. Tapi kamu tak perlu merasa tak nyaman melakukan hal ini. Inilah kesempatan kalian untuk saling mengungkap kekecewaan, untuk saling mendengarkan.
Dengan melakukannya kamu mengakui bahwa sahabatmu adalah manusia: tak selalu sempurna dan serba kekurangan di mana-mana. Dengan mengungkapkannya, kamu percaya bahwa sahabatmu bisa menerima unek-unekmu dengan dewasa. Dengan mengungkapkannya, kamu bahkan memberi kesempatan sahabatmu ini untuk membela diri. Kamu pun memberinya kans untuk mengkritik dirimu balik; mungkin ada hal yang selama ini juga membuatnya kecewa, namun kamu tak pernah sadar telah melakukannya.
Dengan begini, hatimu yang sakit takkan membusuk akibat luka yang terlalu lama dibiarkan. Bukankah lebih baik melepaskan sakit hati dalam semenit dengan bersama-sama jujur, daripada menyimpan dendam yang melelahkan bertahun-tahun?
Dia memulai konflik denganmu? Jangan terburu-buru sakit hati. Bisa jadi, itu cara terbaik yang ia tahu untuk membuka diri
Apakah sahabatmu bersikap antagonis dan melontarkan kalimat kasar tanpa diundang? Kamu berhak marah dan kesal, karena tentu ada banyak cara untuk mengungkap rasa kecewa selain berantem dan saling melempar kata-kata pedas. Misalnya, dengan mendiskusikan baik-baik penyebab kekecewaan yang ia rasakan.
Tapi mungkin saja, sahabatmu bersikap “kasar” karena ia tidak tahu cara yang lebih baik untuk mengungkapkan kekesalannya. Berdiskusi dengan kepala dingin terasa mustahil karena dalam hati ia sudah begitu sebal. Jika memang begini ceritanya, jangan terburu-buru mengecapnya tidak dewasa. Paling tidak ia berani membongkar duri dalam daging yang telah terkubur demikian lamanya dengan memberitahumu perasaan dia yang sebenarnya. Di balik caranya yang mungkin tak terlalu ideal, sekarang kamu tahu bahwa ia sudah tak tahan lagi dengan keadaan saat ini — dan ingin cepat memperbaiki hubunganmu dan dia agar lebih nyaman untuk kalian berdua.
Konflik mendorongmu melakukan introspeksi. Hubungan yang tadinya akur dan “haha-hihi”, ternyata banyak yang harus diperbaiki
Hubungan yang terlihat baik-baik saja, ternyata banyak cela via
pixshark.com
Layaknya drama, konflik juga punya babaknya. Ada babak I semacam “pemanasan”, babak II semacam puncak, dan III semacam resolusinya. Di tahap resolusi inilah, setelah kalian saling mengungkapkan perasaan, adu sindiran, bahkan saling menyerang lewat media sosial, kalian akan bisa menjadi lebih tenang dan mulai mengintrospeksi diri.
Sebenarnya, kesalahan ada di pihak siapa?
Apakah permintaan maaf yang kamu sampaikan sudah cukup adanya?
Bukankah canggung yang kamu rasa selama berkonflik dengannya semakin menunjukkan bahwa hubunganmu dengannya begitu dekat?
Dalam waktu-waktu ini, kalian akan mencoba berpikir dewasa, merenungi apa yang sudah terjadi. Ternyata hubungan yang terlihat akur dan penuh tawa punya banyak hal yang perlu diperbaiki. Meski terasa tak mengenakkan kini, di masa depan kamu akan bersyukur masa-masa ini pernah kalian lalui.
Kedekatanmu diukur bukan dari seberapa jarang kamu dan dia bertengkar, namun seberapa sering kalian kembali berbaikan.
Kedekatanmu diukur bukan dari seberapa jarang kamu bertengkar via
8tracks.com
Bagaimana kamu tahu kalau seseorang memang benar-benar sahabatmu? Kamu bercanda dengan dia, nggak malu-malu pinjam uangnya, bahkan sering bertengkar kecil atau mengeluarkan pendapat berbeda.
Bagaimana kamu tahu kalau seseorang hanya kenalan? Kamu selalu sopan dan nggak pernah terlibat dalam pertengkaran.
Kedekatanmu diukur bukan dari seberapa jarang kamu dan dia bertengkar, namun seberapa sering kalian kembali berbaikan.
Alasan utama kenapa kamu tak usah bersedih ketika konflik terjadi adalah karena konflik itu biasa. Sebiasa udara yang kita hirup untuk hidup, sebiasa hari Senin atau Selasa.
Ibarat penggaris, perselisihan sebenarnya akan mengungkap hal-hal apa saja yang perlu lebih disesuaikan antara kamu dan orang terdekatmu. Dengan begitu, kalian bisa saling belajar dan berkembang dari pribadi satu sama lain. Ini, bukan, alasan pertama kalian menjalin persahabatan?
Jangan bersedih lagi. Konflik dan pertengkaran dengan sahabatmu tak perlu kamu sesali. Daripada murung sendirian, lebih baik mengkontaknya sekarang juga dan meminta maaf, bukan?