Rabu, 04 Februari 2015

Surat Terbuka Untuk Dosen Pembimbingku

“Skripsi adalah kewajiban, maka melunasinya ibarat sedang maju ke medan perang.
Meski harus berdarah-darah, kuniatkan diriku untuk tidak menyerah.
Kubuktikan kalau aku bukan manusia lemah, karena berhenti sebelum selesai berarti memilih kalah.”

Saya percaya, Bapak pasti sudah lupa. Maka, izinkan saya memperkenalkan diri lagi sebelum lebih jauh bicara





























kepada dosen pembimbing skripsi via pixshark.com
Saya tahu, Bapak pasti mengerutkan dahi saat menerima surat ini. Maaf Pak, bukan maksud saya berlaku lancang karena diam-diam mengirim surat untuk Bapak. Sebenarnya, surat ini sekadar perantara, penyambung tali silaturahmi yang putus sekian lama – tepatnya sejak saya resmi diwisuda.
“Apa kabar, Pak?”
Harapan saya, semoga Bapak selalu diberi kesehatan dan umur yang panjang. Meski sekian tahun sudah berlalu, semoga Bapak masih aktif mengajar seperti dulu. Semoga masih sibuk menulis buku dan mengisi seminar-seminar di kampus seperti waktu itu.
Saat masih jadi mahasiswa, saya memang sering mengamati aktivitas Bapak di kampus. Diam-diam, saya pernah jadi mahasiswa yang mengidolakan Bapak lantaran karakter dan gaya mengajar Bapak yang tak biasa. Sayangnya, rasa kagum saya perlahan sirna, tak lama setelah jurusan menetapkan Bapak sebagai pembimbing skripsi saya.
“Lebih dari 365 hari dan proses mengerjakan skripsi rasanya terlalu pahit dijalani. Jika saya boleh bertanya, apakah Bapak pernah mengira-ira rasanya jadi saya?”
 Saya bukan mahasiswa unggulan atau yang paling pintar seangkatan. Tapi sesulit apapun, tak pernah terlintas di pikiran saya untuk mangkir dari kewajiban





tak pernah mangkir dari kewajiban via twhite15.wordpress.com
Di antara teman-teman satu angkatan, saya bukanlah golongan mahasiswa pintar atau berprestasi. Dari sekian mata kuliah yang saya ambil, hampir semuanya tak ada nilai yang terlalu tinggi. Nilai saya cenderung rata-rata, hanya sedikit di atas batas tuntas sehingga saya tak harus mengulang mata kuliah atau ikut remidi.
Meski berhasil melewati masa-masa kuliah membuat saya lega, proses skripsi yang saya jalani setelahnya justru seperti neraka. Tak cukup pikiran dan tenaga yang difokuskan, ternyata yang juga saya butuhkan adalah kesabaran. Ya, dibimbing oleh Bapak nyatanya jadi ujian terberat bagi saya. Bukan perkara topik atau teori yang saya pilih, ketabahan saya justru diuji dari hal-hal yang paling sepele.
“Ketika ponsel Bapak tak bisa dihubungi, maka satu-satunya pilihan adalah menunggu meski tanpa kepastian. Tiap setengah jam saya akan bolak-balik memeriksa ruang kerja Bapak sambil sibuk merapal harapan. Menemukan Bapak yang sedang santai dan mau meluangkan waktu untuk konsultasi skripsi adalah yang saya inginkan.”
Saya mengerti. Mengoreksi skripsi saya memang bukan satu-satunya pekerjaan Bapak. Selain saya, ada sekian mahasiswa yang juga jadi tanggung jawab Bapak. Belum lagi urusan mengajar, membuat soal ujian, dan masih banyak lagi.
Tapi dari 24 jam dalam sehari, setidaknya Bapak bersedia meluangkan satu atau setengah jam saja. Rutin setiap 2 minggu sekali misalnya. Sekadar memeriksa apakah tulisan dan alur logika saya sudah sinkron, atau justru melenceng jauh. Bapak tentu paham betapa waktu Bapak begitu berarti bagi masa depan saya.

 Keinginan segera memakai toga wisuda dan menyadang gelar sarjana seringkali harus pupus ketikadraft skripsi yang saya kumpulkan nyatanya tak disentuh sama sekali
berusaha agar tak patah semangat via imgbuddy.com
Jika dibanding teman-teman satu angkatan, saya termasuk mahasiswa yang ketinggalan. Tak kunjung menyelesaikan skripsi bahkan membuat saya dijuluki “mahasiswa tua” oleh adik-adik tingkat. Tapi saya masih bisa ikut tertawa mendengarnya. Setidaknya, saya tak seperti teman-teman yang lain.
Banyak teman yang saya kenal baru menjalani skripsi setengah jalan, tapi sudah kelimpungan. Banyak juga yang bahkan sengaja menghilang dari kampus saking mereka ketakutan. Tapi saya berusaha untuk bertahan.
Meski terseok-seok, saya masih berusaha menulis setiap pagi dan memperbaiki apa yang saya tulis saat malam. Saya frustrasi dan mudah sekali rasanya untuk menyerah dan berhenti. Tapi saya tak ingin karam. Saya bertekad, tak peduli seberat apapun saya harus menuntaskan kewajiban.”
Saya bangga karena masih sanggup bertahan. Namun, mental saya kembali menciut, ketika draft skripsi yang genap satu bulan saya tinggalkan di meja Bapak nyatanya belum tersentuh tangan sama sekali. Mungkin Bapak lupa, tak punya waktu, atau sengaja tak mau menyentuhnya. Yang pasti, satu bulan jelas bukan waktu yang sebentar.
Ketika teman-teman yang lain tengah mengakrabi pekerjaan pertama atau sibuk dengan keluarga barunya, saya masih sibuk dengan sesuatu yang seperti tak ada akhirnya. Ibarat lomba lari, saya bahkan sudah kalah start lantaran belum juga menuntaskan skripsi.
“Jika bisa, ingin rasanya segera memakai toga wisuda dan menyandang gelar sarjana di belakang nama. Karena inilah cara paling sederhana membuat keluarga dan kedua orang tua saya bahagia.”

Harapan itu memang akhirnya bisa jadi kenyataan. Tapi apakah Bapak tahu, berapa lama saya harus menunggu? Dan bagaimana saya harus menjalani momen jatuh bangun selama itu?

seandainya bisa lulus lebih cepat via hsiuncovered.com
Lulus dengan gelar sarjana memang bukan sekadar angan. Karena pada akhirnya harapan-harapan itu tetap bisa diwujudkan. Bahagia? Jelas. Bangga? Sudah pasti. Berhasil melunasi tanggung jawab adalah sebuah prestasi. Satu beban yang terangkat menjadikan hidup rasa-rasanya lebih ringan dijalani.
Tapi jika boleh jujur pada diri sendiri, tentu masih ada yang mengganjal dalam hati sampai hari ini. Jika bisa, saya pun ingin memutar waktu dan berharap bisa mengubah apa saja yang tak sesuai harapan saya kala itu.
“Seandainya bisa lulus cepat, pasti ada lebih banyak pencapaian yang bisa didapat. Dan tak ada perasaan sedih atau kecewa lantaran banyak kesempatan yang begitu saja terlewat.”
Saya menulis surat ini bukan bermaksud menyalahkan Bapak atas apa yang saya alami. Bukan berarti proses skripsi yang lama dijalani juga di luar tanggung jawab saya sendiri. Saya pun menyadari bahwa kemampuan saya pun jauh dari sempurna. Tapi setidaknya, curahan hati saya ini bisa jadi sekadar pengingat,
“Bahwa posisi dan kedudukan itu ibarat dua sisi mata uang. Dengan ini, kita bisa saja membuat hidup orang lain lebih mudah. Di sisi lain, bukan tak mungkin pula kita membuat hidup orang lain sengsara.”
 Meski sampai hari ini saya masih menyesal karena kelulusan yamg tertunda, izinkan saya mengucapkan terima kasih pada Bapak
\

baca buku atau nulis gih! via www.ereadersincanada.com
Saya masih  sedang berjuang untuk berdamai dengan diri sendiri. Berusaha untuk tidak menyalahkan orang lain atau keadaan atas “kemalangan” yang saya alami. Berusaha jadi tangguh dan menerima bahwa semua yang terjadi memang sudah digariskan. Dan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah sekadar menjalani dengan berlapang hati.
Namun, saya pun berharap semoga sistem bimbingan skripsi bisa jadi lebih baik lagi. Semoga komunikasi antara mahasiswa dan dosen pembimbingnya juga bisa ditingkatkan lagi. Bagaimana pun, mahasiswa tak akan bisa lulus tanpa skripsi dan dosen pembimbing. Jika keduanya bisa bekerja sama, tak akan ada lagi mahasiswa-mahasiswa yang harus lulus lama.
Kuliah dan proses skripsi adalah momen-momen penting dalam perjalanan hidup seseorang. Sedikit salah melangkah bisa jadi berakibat fatal karena hal ini erat kaitannya dengan masa depan. Dan sekalipun proses pengerjaan skripsi yang lama membuat saya melewatkan banyak hal, saya tetap berbangga karena bisa menyelesaikannya.

0 komentar:

Posting Komentar