Sabtu, 02 Desember 2017

Tradisi Sekaten yang Tak Pernah luntur



Yogyakarta memang tidak pernah ada matinya. Mendapat anugerah yang luar biasa dengan alam yang mampu dijelajahi tanpa henti dan kebudayaan yang tiada duanya, membuat semua orang ingin dan selalu ingin datang lagi dan lagi ke kota yang satu ini. Bulan ini adalah bulannya bagi masyarakat Yogyakarta yang mungkin sudah menunggu acara tahunan yang di gelar di alun-alun Kota Yogyakarta. Acara Sekaten yang masih mampu membius hampir seluruh warga kota Yogyakarta untuk datang dan menikmati sajian wisata malam yang murah meriah dan menyenangkan.
Sekaten adalah acara tahunan yang di gelar oleh keraton Yogyakarta untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Sebenarnya tidak hanya di Yogyakarta, acara Sekaten juga digelar oleh Kasunanan Surakarta. Tetapi, pergelaran Sekaten di Surakarta tidak semegah pergelaran Sekaten di Yogyakarta. Di Surakarta pergelaran ini seakan meredup dan mulai ditinggalkan pengunjungnya. Terbukti dari jumlah permainandan pengunjung yang berbanding terbalik bagaikan langit dan  bumi jika kedua wilayah ini dibandingkan.
Sumber : google.com
Sumber : google.com
Sekaten atau pasar malam memang menyajikan hiburan yang merakyat. Mulai dari komedi putar, Kora-kora, Tong setan, Ombak Asmara dan masih banyak lagi macam permainan yang siap menghilangkan penat setelah seharian bekerja. Tidak hanya dengan permainan saja, tetapi juga aneka jajanan pasar, kaos, sepatu, dan tas yang dijual dengan harga yang paling murah dan kualitas yang juga tidak sembarangan, membuat saya ingin dan ingin datang lagi ke Sekaten.
Jika sudah mendekati maulid nabi, keraton akan mengeluarkan gamelan yang dianggap keramat untuk dibunyikan selama satu minggu. Biasanya akan dibunyikan pada pagi, siang, dan sore hari saja. Dan juga sebuah tumpeng raksasa yang akan diperebutkan warga yang disebut dengan Gunungan yang masyarakat percaya akan ada keberkahan di balik gunungan tersebut.

Ada satu momen yang sampai saat ini masih saya ingat jika acara sekaten berlangsung. Yaitu permainan sebuah kapal yang bisa berjalan dengan sebuah minyak, kapas dan lilin sebagai tenaganya. Sewaktu masih kecil, saya selalu membeli kapal ini. Entah mengapa saya sangat suka dengan kapal yang hampir seperti kapal perang ini.
Saya berdiam cukup lama di depan seorang penjual kapal perang yang selalu saya sebut dengan kapal “otok-otok” itu. Saya teringat bagaiamana saya kecil dulu selalu memintanya, sembari makan arum manis. Sungguh, saya merindukan masa lalu itu. Andai saja bisa memutar waktu ke masa itu.
“Kenapa bro?” tanya Imron yang datang dengan membawa jam barunya.
“Keinget masa lalu aja,” jawabku.
Sumber : google.comSumber : google.com
Pergi ke sekaten dengan lautan manusia yang begitu banyak memang harus berhati-hati. Seperti halnya kawan saya yang satu ini yang ingin pamer karena dia baru saja beli jam dengan harga 35ribu rupiah. Jam itu terjatuh karena ada seseorang yang tanpa sengaja mendorongnya. Entah darimana, bagai ombak yang datang banyak manusia berdesak-desakan seakan mereka ingin segera bertemu dengan idola mereka yang sedang berada di seberang.
Jam tangan Imron pun terinjak-injak dan akhirnya rusak. Dia sedikit kecewa dan menangis karena ternyata uang yang dipakainya untuk membeli jam tangan tersebut adalah uang terakhirnya di bulan ini. Setelah ini ia tidak akan tahu lagi bagaimana nasibnya. Air matanya menetes, mengalir secara perlahan. Tetapi, ia sadar ini adalah tempat umum yang membuatnya mampu menahan segalanya.
Aku yang iba pun akhirnya hanya bisa mengajaknya naik permainan yang sudah dipenuhi oleh banyak orang itu. Sungguh, raut wajahnya tak seceria saat pertama kali mengijakkan kai di tempat ini. Tahu petis kesukaannya pun tak mampu merubah raut wajahnya yang sangat mendung itu. Hingga akhirnya, kami memutuskan kembali dengan sebuah kenangan yang kembali tersimpan untuk sekaten tahun depan yang tidak akan pernah luntur oleh Zaman.